Tidak lama kemudian, terasa tangan Aminah menekan pantatku pelan-pelan dan kembali kutekan penisku sehingga sekarang sudah masuk semua dengan tanpa ada keluhan dari Aminah. "Aam..., masih sakiitt..?", Tanyaku dan Aminah hanya menggelengkan kepalanya pelan. Karena Aminah sudah tidak merasakan kesakitan lagi, segera saja aku mulai menggerakkan penisku pelan-pelan keluar masuk vaginanya, sedangkan Aminah hanya mengelus-eluskan tangannya di punggungku.
Makin lama gerakan penisku kupercepat dan Aminah mulai ikut menggerakkan pinggulnya sambil bersuara, "aahh..., sshh..., aahh..., aahh..., sshh..., teruus..., Paak". Aku tidak menuruti permintaannya dan segera kuhentikan gerakan penisku dan kucabut keluar dari vaginanya dan Aminah kelihatannya memprotes kelakuanku, "Paak..., kenapaa..". Aku tidak menjawab protesnya tetapi kubilang, "aam..., coba sekarang Aminah berbalik dan nungging". Aminah menuruti permintaanku tanpa protes dan setelah kuatur kakinya, secara pelan-pelan kutusukkan penisku ke dalam vaginanya dari belakang dan kutekan agak kuat sehingga membuat Aminah berteriak kecil, "aahh..", dan segera kugerakkan penisku keluar masuk vaginanya dan Aminah bersuara, "aahh..., oohh..., aah..., ooh..., aahh", seirama dengan kocokan penisku keluar masuk.
Tidak lama kemudian kudengar keluhan Aminah, "Paak..., aam..., capeek..., paak", sambil terus menjatuhkan badannya tengkurap, sehingga penisku jadi lepas dari vaginanya. Langsung badan Aminah kubalik telentang dan kembali kutancapkan penisku dengan mudah ke dalam vaginanya yang masih tetap basah dan kuayun keluar masuk, sehingga membuat Aminah merasa keenakan dan mendesah, "aahh..., oohh..., sshh..., aahh..., ssh", demikian juga aku.
Setelah beberapa saat, lalu kuhentikan gerakan senjataku dan kubalik badanku sehingga posisi Aminah sekarang berada di atas.
"aam..., sekarang Aminah yang maiin..., yaa..., biar aku juga enaak", kataku.
Mula-mula Aminah hanya diam saja, mungkin malu tetapi lama-lama mulai mau menggerakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah sehingga vaginanya menelan penisku sampai habis dan gerakannya semakin lama semakin cepat yang membuatku semakin keenakan, "aahh..., sshh..., aamm.., truus..., aam..., enaak.., aam", dan Aminah hanya mendesah, "aahh..., oohh..., aahh..".
Karena gerakan Aminah semakin cepat, membuatku semakin mendekati klimaks dan segera saja kukatakan, "Aam..., sshh..., ayoo..., aam..., sayaa..., sudah mau keluaar.., cepaat.., aam".
"Paak..., ayoo.., kita.., sama samaa", katanya sambil mempercepat gerakan pinggulnya ke atas dan ke bawah dan akhirnya aku sudah nggak kuat menahan air maniku supaya tidak keluar dan, "Aam..., sekaraang", kataku cepat sambil kutekan pinggulnya kuat-kuat dan Aminah hanya berteriak, "aahh", dan terus sama-sama terdiam dengan nafas terengah-engah. Kami berdua lalu tidur dengan penisku tetap masih berada di dalam vaginanya.
Pagi harinya, ketika aku makan pagi ditemani oleh bu Tus sendiri dan Pak Tus katanya sedang ke kebun dan Aminah sedang menyuapi anaknya di depan, bu Tus bertanya, "Paak..., apa benar..., suami saya..., akan di PHK?". Aku jadi sangat terkejut dengan pertanyaan itu, karena setahuku belum ada orang lain yang kuberitahu, kecuali pimpinanku dan sekretaris yang kusuruh menyiapkan surat-surat. "Buu..., lebih baik kita bicarakan dengan Bapak sekalian agar bisa tuntas. Ayoo..., kita temui Bapak di kebun ajakku.
Karena Pak Tus sudah tahu dan mungkin dari sekretaris kantor, lalu aku terangkan semuanya dan apa yang menjadi pertimbanganku dan yang lebih penting soal pesangonnya yang spesial dan cukup besar. Pada mulanya, di wajah Pak Tus kulihat ada perasaan kurang senang, tetapi setelah kuberikan penjelasan dan kuberitahu besar uang pesangonnya, Pak Tus dengan wajah berseri malah berbalik bertanya, "Paak..., kapan uang pesangonnya bisa diambil..., saya mau gunakan untuk kebun saya ini dan ditabung". Aku jadi lega bisa menyelesaikan masalah ini dan sekaligus dapat vaginanya bu Tus dan Aminah.
Siangnya kami kembali ke Indramayu dan sesampainya di rumah mereka, Pak Tus mengatakan, "Paak..., jangan kapok..., ya paak", dan kujawab, "Paak..., pokoknya kalau Pak Tus ajak lagi..., saya akan ikut", sambil aku melihat bu Tus yang tersenyum penuh arti.
Pada hari Senin pagi kupanggil Sri sekretaris kantor yang pernah kusuruh mempersiapkan surat berhenti untuk pegawai-pegawai yang telah kupilih. Setelah Sri menghadap di kantorku, kumarahi dan kudamprat dia habis-habisan karena tidak bisa menjaga rahasia. Kuperhatikan wajah Sri yang ketakutan sambil menangis, tetapi apa peduliku dan saking kesalku, kusuruh dia untuk pulang dan memikirkan apa yang telah dilakukannya. Aku lalu meneruskan pekerjaanku tanpa memikirkan hal tadi.
Malam harinya, dengan hanya mengenakan kaos singlet dan sarung, aku duduk di ruang tamu sambil melihat acara sinetron di salah satu stasion TV, tiba-tiba kudengar ada orang mengetuk pintu rumahku yang sudah kukunci. Aneh juga, selama ini belum ada tamu yang datang ke rumahku malam-mala, aku jadi sedikit curiga siapa tahu ada orang yang kurang baik, maklum saja di masa krisis seperti sekarang ini, tetapi ketika kuintip ternyata yang di depan adalah Sri. Hatiku yang tadinya sudah melupakan kejadian tadi siang, mendadak jadi dongkol kembali dan sambil kubukakan pintu, kutanya dia dengan nada dongkol, "Ngapain malam-malam ke sini".
Sri tidak menjawab tapi malah bertanya, "Paak..., boleh saya masuk?".
Yaa..., sana duduk", kataku dengan dongkol, sambil menutup pintu rumah.
Sri segera duduk di sofa panjang dan terus menangis tanpa mengeluarkan kata-kata apapun. Aku diamkan saja dia menangis dan aku segera duduk di sampingnya tanpa peduli. Lama juga aku menunggu dia menangis dan ketika tangisnya agak mereda, dengan tanpa melihat ke arahku dan diantara suara senggukan tangisnya, Sri akhirnya berkata dengan nada penuh iba, "Paak..., maafkan Srii..., paak, saya mengaku salah..., paak dan tidak akan mengulangi lagi", dan terus menangis lagi, mungkin karena tidak ada jawaban dariku.
Lama sekali si Sri menangis sambil menutup mukanya dengan sapu tangan yang sudah terlihat basah oleh air matanya, lama-lama aku menjadi tidak tega mendengar tangisannya yang belum juga mereda, lalu kugeser dudukku mendekati Sri dan kuraih kepalanya dengan tangan kiriku dan kusandarkan di bahuku. Ketika kuusap-usap kepalanya sambil kukatakan, "Srii..., sudaah..., jangan menangis lagi..., Srii", Sri bukannya berhenti menangis, tetapi tangisnya semakin keras dan memeluk pinggangku serta menjatuhkan kepalanya tepat di antara kedua pahaku.
Dengan keadaan seperti ini dan apalagi kepala Sri tepat ada di dekat penisku yang tertutup dengan sarung, tentu saja membuat penisku pelan-pelan menjadi berdiri dan sambil kuusap punggungnya dengan tangan kiriku dan kepalanya dengan tangan kananku lalu kukatakan, "Srii..., sudah..., laah..., jangan menangis lagi". Setelah tangisnya mereda, perlahan-lahan Sri menengadahkan kepalanya seraya berkata dengan isaknya, "Paak..., maafkan..., srii..., yaa", sambil kucium keningnya lalu kukatakan, "Srii..., sudah.., laah..., saya maafkan..., dan mudah-mudahan tidak akan terulang lagi".
Mendengar jawabanku itu, Sri seperti kesenangan langsung memelukku dan menciumi wajahku berulangkali serta mengatakan dengan riang walaupun dengan matanya yang masih basah, "Terima kasiih..., paak..., terima kasiih", lalu memelukku erat-erat sampai aku sulit bernafas. "Sudah.., laah..., Sri", kataku sambil mencoba melepaskan pelukannya dan kulanjutkan kata-kataku. "Gara-gara kamu nangis tadi..., aku jadi susah...".
"Ada apa paak", tanyanya sambil memandangku dengan wajah yang penuh kekuatiran.
Sambil kurangkul lalu kukatakan pelan di dekat telinganya, "Srii..., itu lhoo..., gara-gara kamu nangis di pangkuanku tadi..., adikku yang tadi tidur..., sekarang jadi bangun", kataku memancing dan mendengar jawabanku itu, Sri mencubit pinggangku dan berguman, "iihh..., bapaak", dan sambil mencium pipiku kudengar Sri agak berbisik di dekat telingaku, "Paak..., Sri..., suruh..., tiduur..., yaa?", seraya tangannya menyingkap sarungku ke atas dan menurunkan CD-ku sedikit sehingga penisku yang sudah tegang dari tadi tersembul keluar dan dengan dorongan tanganku sedikit, kepala Sri menunduk mendekati penisku serta, "Huup..", penisku hilang setengahnya tertelan oleh mulutnya. Sri segera menggerakkan kelapanya naik turun serta terasa lidahnya dipermainkan di kepala penisku sehingga membuatku seperti terbang di awang-awang, "Sshh..., aahh..., oohh.., Srii..., sshh..., aahh", desahku keenakan tanpa sadar.
"Srii..., lepas sebentaar..., Srii..., saya mau lepas sarung dan CD-ku dulu..", kataku sambil sedikit menarik kepalanya dan setelah keduanya terlepas, kembali Sri melahap penisku sambil tangannya sekarang mempermainkan buahku dan aku gunakan tanganku untuk meremas-remas payudara Sri dan sekaligus mencari serta membuka kancing bajunya.
Setelah baju atas Sri berhasil kulepas dari tubuhnya, maka sambil kuciumi punggungnya yang bersih dan mulus, aku juga melepas kaitan BH-nya dan kulepas juga dari tubuhnya. Sementara Sri masih menggerakkan kepalanya naik turun, aku segera meremas-remas payudaranya serta kucium dan kujilati punggungnya, sehingga badan Sri bergerak-gerak entah menahan geli atau keenakan, tetapi dari mulutnya yang masih tersumpal oleh penisku terdengar suara, "Hhmm..., hhmm..., hhmm".
Dalam posisi seperti ini, aku tidak bisa berbuat banyak untuk membuat nikmat Sri, segera saja kukatakan, " Srii..., sudah duluu...", sambil menarik kepalanya dan Sri lalu kupeluk serta berciuman, sedang nafasnya Sri sudah menjadi lebih cepat.
"Srii..., kita pindah ke kamar..., yaa", kataku sambil mengangkat Sri berdiri tanpa menunggu persetujuannya dan Sri mengikuti saja tarikanku dan sambil kurangkul kuajak dia menuju kamarku lalu langsung saja kutidurkan telentang di tempat tidurku. Segera kulepas singletku sehingga aku sudah telanjang bulat dan kunaiki badannya serta langsung kucium dan kujilati payudaranya yang terasa sudah lembek. Tapi..., ah.., cuek saja. Sambil terus kujilati kedua payudara Sri bergantian yang makin lama sepertinya membuat Sri semakin naik nafsunya, aku juga sedang berusaha melepas kaitan dan ritsluiting yang ada di rok nya Sri.
Sementara aku menarik roknya turun lalu menarik turun CD-nya juga, Sri sepertinya sudah tidak sabar lagi dan terus mendesah, "Paak..., paak..., ayoo..., paak..., cepaat..., paak..., masukiin..., sshh", dan setelah aku berhasil melepas CD dari tubuhnya, segera saja Sri melebarkan kakinya serta berusaha menarik tubuhku ke atas seraya masih tetap berguman, "Paak..., ayoo..., cepaat.., Srii..., aah..., sudah nggak tahaan..., paak".
Aku turuti tarikannya dan Sri seperti sudah tidak sabar lagi, segera bibirku dilumatnya dan tangan kirinya berhasil memegang penisku dan dibimbingnya ke aah vaginanya.
"Srii..., aku masukin sekarang..., yaa", tanyaku minta izin dan Sri cepat menjawab, "Paak..., cepaat..., paak", dan segera saja kutekan penisku serta, "Blees..", disertai teriakan ringan Sri, "aahh..", masuk sudah penisku dengan mudah ke dalam vaginanya Sri. Sri yang sepertinya sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, mendekap diriku kuat-kuat dan menggerakkan pinggulnya dengan cepat dan kuimbangi dengan menggerakkan penisku keluar masuk vaginanya disertai bunyi "Ccrreet..., creet.., crreet", dari vaginanya mungkin sudah sangat basah dan dari mulutnya terdengar, "oohh..., aahh..., sshh..., paak..., aah".
Gerakan penisku kupercepat sehingga tak lama kemudian gerakan badan Sri semakin liar saja dan berteriak, "Adduuh..., paak..., aahh..., oohh..., aduuhh..., paak..., aduuhh..., paak", sambil mempererat dekapannya di tubuhku dan merangkulkan kedua kakinya kuat-kuat di punggungku sehingga aku kesulitan untuk bergerak dan tak lama kemudian terkapar dan melepas pelukannya dan rangkuman kakinya dengan nafasnya yang memburu.
Aku agak sedikit kecewa dengan sudahnya Sri, padahal aku juga sebetulnya sudah mendekati puncak, hal ini membuat nafsuku sedikit surut dan kuhentikan gerakan penisku keluar masuk.
"Srii..., kenapa nggaak bilang-bilang..., kalau mau keluar", tanyaku sedikit kecewa.
"Paakk.., jawab Sri dengan masih terengah engah, "Sri..., sudah nggak..., tahaan..., paak.."
Agar Sri tidak mengetahui kekecewaanku dan untuk menaikkan kembali nafsuku, aku ciumi seluruh wajahnya, sedangkan penisku tetap kudiamkan di dalam vaginanya. eeh, tidak terlalu lama terasa penisku seperti terhisap dan tersedot-sedot di dalam vaginanya.
"Srii..., teruus..., Srii..., enaak..., teruuss..., Srii", dan membuatku secara tidak sadar mulai menggerakkan penisku kembali keluar masuk, dan Sri pun mulai menggerakkan pinggulnya kembali.
Aku semakin cepat mengerakkan penisku keluar masuk sehingga kembali terdengar bunyi, "Ccrroot..., crreet..., ccrroot..., creet", dari arah vaginanya.
"Srii..., Srii..., ayoo..., cepaat..., Srii", dan seruanku ditanggapi oleh Sri.
"Paak..., iyaa..., paak..., ayoo", sambil mempercepat gerakan pinggulnya.
"aahh..., sshh..., Ssrrii..., ayoo..., Srrii.., saya.., sudah dekaat srii."
"Ayoo..., paak..., cepaatt..., sshh..., paak"
Aku sudah tidak bisa menahan lagi dan sambil mempercepat gerakanku, aku berteriak "Srrii..., ayoo..., Srrii..., sekaraang", sambil kutusukan penisku kuat-kuat ke dalam vaginanya Sri dan ditanggapi oleh Sri.
"Paak..., ayoo..., aduuh..., aah..., paak", sambil kembali melingkarkan kedua kakinya di punggungku kuat-kuat.
Setelah beristirahat cukup lama sambil tetap berpelukan dan penisku tetap di dalam vaginanya, segera aku ajak Sri untuk mandi, lalu kuantar dia pulang dengan kendaraanku.
Minggu depannya, aku berhasil melaksanakan PHK tanpa ada masalah, tetapi beberapa hari kemudian setelah pegawai-pegawai yang tersisa mengetahui besarnya uang pesangon yang diberikan kepada 5 orang ter-PHK, mereka mendatangiku untuk minta di-PHK juga. Tentu saja permintaan ini tidak dapat dipenuhi oleh pimpinanku.
TAMAT
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar