kutinggalkan puisi, kalau tak juga sanggup
kutafsirkan isyarat manik matamu
solilokui tanpa tepi: berbalut sunyi, kapan sampai
di rumah kediamanmu
kutinggalkan puisi, kalau kata-kata itu
tak juga menjelma jiwa, membantah atau membela
: bukankah hidup ini perlu kawan bicara?
karena kauhembusi tanah liat itu dengan napas hayat
ia menggeliat, lalu kautuntun ke dalam taman
kutinggalkan puisi, kalau ia tak ubahnya
dunia pelarian -- setelah telanjang dan malu
bagaimana mungkin kami hidup
tersaruk-saruk di bawah langit tembaga
dan kebisuanmu? adapun lembah gurun ini
menguras keringat dan berdebu
kutinggalkan puisi, kalau ia bukan jejak pertemuan
dengan darah percikan dan luka-luka tubuhmu....
Yogya, 1996
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar